Kamis, 25 Agustus 2011

Penandatanganan Moratorium oleh Presiden: Sebuah Catatan

Indonesia akhirnya mengesahkan moratorium hutan pada hari Kamis, 19 Mei 2011. Peraturan ini ditandatangani oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Kamis pagi waktu setempat dan akan berlaku selama 2 tahun. Instruksi Presiden no. 10 tahun 2011 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut ini merupakan penggabungan dari draft yang sebelumnya diusulkan oleh Kementerian Kehutanan dan satgas UN REDD.
“Kami bersungguh-sungguh saat kami berkata bahwa kami akan mereformasi manajemen hutan dan lahan gambut di Indonesia. Tidak akan ada izin konversi hutan yang dikeluarkan untuk hutan dan lahan gambut seluas 64 juta hektar,” demikian keterangan yang diberikan Agus Purnomo kepada Reuters.”Kami juga akan terus menumbuhkan perekonomian Indonesia karena kami mengalokasikan 35 juta hektar dari hutan yang terdegradasi untuk pertanian, pertambangan dan kebutuhan pembangunan lainnya.”
Isi peraturan ini telah dirilis dan dapat diunduh di situs Setkab melalui tautan ini. Penandatanganan peraturan ini oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono disambut secara positif oleh banyak pihak yang berharap tindakan tersebut akan menjadi katalisator untuk mengembangkan lebih banyak proyek untuk mengurangi emisi karbon dari sektor kehutanan.
“Ini merupakan batu loncatan untuk meluruskan berbagai masalah yang terjadi dalam aspek konflik lahan, pemerintahan di sektor kehutanan, dan masalah-masalah lain,” papar Dharsono Hartono, pemilik perusahaan yang tengah mengembangkan sebuah proyek untuk melindungi area lahan gambut kaya karbon di Kalimantan Tengah.
Moratorium yang seharusnya dilaksanakan pada 1 Januari 2011 sempat tertunda karena adanya konflik antara pejabat pemerintah mengenai luas lahan hutan yang disertakan dalam moratorium. Inpres moratorium hutan merupakan implementasi dari Letter of Intent (LoI) antara Indonesia dengan Norwegia. Kesepakatan tersebut merupakan kerja sama di bidang konservasi kehutanan untuk mengurangi emisi karbon melalui moratorium selama dua tahun dan ditandatangani pada 26 Mei 2010 di Oslo, Norwegia.
Kendati demikian, editor media ini mencatat beberapa kekhawatiran tentang implementasi Peraturan tersebut. Pertama, tulisan yang dimuat di situs Setkab sendiri secara jelas menyatakan ada pengecualian yang diberlakukan kepada:
a) Permohonan yang telah mendapatkan persetujuan prinsip dari Menteri Kehutanan; b) Pelaksanaan pembangunan nasional yang bersifat vital, yaitu: geothermal, minyak dan gas bumi, ketenagalistrikan, lahan untuk padi dan tebu; c) Perpanjangan izin pemanfaatan hutan dan/atau penggunaan kawasan hutan yang telah ada sepanjang izin di bidang usahanya masih berlaku dan d) Restorasi Ekosistem.

Ini problematis, karena definisi dari hal-hal yang dikecualikan tidak mendapat penjabaran dan limitasi yang jelas, -sehingga berpotensi menimbulkan kerancuan dalam aplikasi Peraturan tersebut.
Kedua, pengesahan Peraturan yang terlambat merefleksikan peliknya komplikasi situasi di tengah-tengah komitmen sukarela Indonesia untuk melakukan reduksi emisi sebesar 26%, sekaligus dengan tetap mendorong pertumbuhan ekonomi secara signifikan. Jika realisasi moratorium saja sudah terlambat karena situasi yang sulit, bagaimana dengan penerapan dan aplikasinya? Media ini menggarisbawahi kekhawatiran bahwa target reduksi emisi dan pertumbuhan ekonomi mungkin tidak semudah itu untuk digapai secara simultan.
Ketiga, kerjasama bilateral antara Norwegia-Indonesia menjadi perhatian besar bagi kalangan internasional dalam konteks perubahan iklim. Seperti tulisan yang dilansir media ini beberapa waktu lalu, seringkali terjadi tarik-ulur antara negara maju dan berkembang mengenai banyak isu-isu sensitif seperti pendanaan dan mekanisme pengamanannya (safeguard). Suka atau tidak suka, realisasi moratorium ini bak bermata ganda. Ia dapat dipandang positif sebagai kemajuan suatu model kerjasama yang dapat direplikasi banyak pihak lainnya. Namun di sisi lain, hal ini juga berpotensi terlihat sebagai suatu preseden negatif mengingat keterlambatan Indonesia dalam mengesahkan peraturan ini. Jika ini yang terjadi, ada kemungkinan polarisasi politis antara negara berkembang dan negara maju akan semakin menajam dan menjauhkan kedua kubu dari titik temu yang sangat dibutuhkan dalam negosiasi perubahan iklim.
Pertanyaan dasarnya: Apakah moratorium ini dapat dimaknai sebagai sesuatu yang positif bagi Indonesia? Jawabannya “ya”. Namun masih banyak hal-hal yang menjadi catatan dan perlu diperhatikan demi keselamatan lingkungan bagi anak-cucu kita di masa mendatang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar