Senin, 17 Oktober 2011

Pengangkatan Honorer Setelah 2005 Tidak Dibenarkan

Jakarta-Humas BKN, Terkait permasalahan pengangkatan tenaga honorer, Kepala Bagian (Kabag) Humas Tumpak Hutabarat menegaskan bahwa hal itu masih menunggu keluarnya peraturan pemerintah (PP) yang akan dijadikan dasar hukum pengangkatan tenaga honorer. Hal itu disampaikan oleh Kabag Humas Tumpak Hutabarat saat menerima anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Bima saat melakukan audiensi ke BKN, Senin (10/10) di Ruang Mawar lantai 1 Gedung I BKN Pusat. Turut serta menemui para anggota dewan Kepala Sub Direktorat (Kasubdit) Perencanaan Pengembangan Pegawai Badi Mulyono dan Kepala Sub Direktorat (Kasubdit) Pengendalian Kepegawaian (Dalpeg) IIIA Haryono. Pada kesempatan itu, Kabag Humas juga menegaskan bahwa pendataan yang telah dilakukan sesuai Surat Edaran MenPAN&RB No. 05 tahun 2010 adalah tenaga honorer yang memenuhi kriteria PP 48/2005 dan PP 43/2007. “Tenaga honorer yang didata baik kategori I maupun II adalah yang memenuhi kriteria kedua PP tersebut, maka data tenaga honorer yang mulai bekerja pada tahun 2006 dan setelahnya, dan disampaikan ke BKN adalah tidak benar,” tegas Tumpak Hutabarat. Tumpak Hutabarat menjelaskan bahwa tenaga honorer yang didata adalah yang memiliki masa kerja satu tahun pada 31 Desember 2005, adapun honorer yang diangkat setelah tahun 2005 maka tidak termasuk dan hal ini bertentangan dengan amanat PP 48/2005. Tumpak Hutabarat juga meminta supaya wacana pengangkatan tenaga honorer menjadi CPNS jilid kedua ini merupakan pengangkatan terakhir dan tidak ada pengangkatan honorer lagi setelahnya. “Pengadaan CPNS sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) yang berlaku haruslah menggunakan seleksi/tes, maka kami minta disosialisasikan bahwa pengangkatan tenaga honorer menjadi CPNS kali ini merupakan pengangkatan terakhir dan ke depan tidak ada lagi pengangkatan tenaga honorer,” jelas Tumpak Hutabarat.

Sabtu, 08 Oktober 2011

Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan

Ditjen PP dapat dikatakan merupakan penjelmaan dan penyempurnaan dari suatu unit kerja khusus yang telah ada sebelumnya di DepKumHAM. Agaknya akan terlalu panjang untuk menelusuri sejarah perkembangan unit ini, mulai dari unit yang bernama "Direktorat Perundang-undangan" yang berada di Ditjen Kumdang, yang kemudian dipindahkan ke BPHN dengan nama "Pusat Perancangan" pada sekitar tahun 1985, dan yang akhirnya ditarik-kembali ke bawah ke Ditjen Kumdang pada tahun 1990 dengan nama "Direktorat Perancangan Peraturan Perundang-undangan [Direktorat PP]". Sejarah perkembangan Ditjen PP boleh dikata diawali dari perubahan-perubahan yang terjadi pada unit kerja yang paling akhir, yaitu Direktorat PP. Berbagai pemikiran mengenai perlunya pengembangan unit perundang-undangan ke tingkat eselon I mulai terjadi dan dilakukan di unit Direktorat PP. Pemikiran mengenai hal tersebut sebagian disebabkan oleh situasi dan kondisi pada masa terjadinya reformasi ketatanegaraan di berbagai bidang, termasuk bidang hukum. Beban kerja untuk melaksanakan reformasi di bidang hukum sangat berat sehingga di DepKumHAM dirasa perlu untuk membentuk suatu unit kerja setingkat eselon I yang dilengkapi dengan berbagai unit kerja eselon II penunjangnya agar dapat secara lebih baik menangani berbagai masalah di bidang perundang-undangan. Jika diperbandingkan dengan berbagai unit yang ada sebelumnya, Direktorat PP mempunyai suatu ciri khusus, yaitu adanya sumber-daya manusia perancang perundang-undangan. Para perancang ini memperoleh keterampilan dasarnya di Belanda. Mereka inilah yang kemudian menjadi perancang senior yang menjadi tulang-punggung kegiatan penyusunan rancangan peraturan dan pembahasannya di DPR saat ini, dengan dibantu oleh para perancang yunior yang pengadaan dan pengembangannya ikut dibantu oleh para perancang senior tersebut. Pelaksanaan kegiatan di bidang pembentukan peraturan perundang-undangan terdiri dari, antara lain: * Pemberian Saran dan Tanggapan Terhadap Rancangan yang berasal dari Instansi Lain; * Rekomendasi Persetujuan Usul Prakarsa Penyusunan RUU; * Penyusunan Rancangan Peraturan (UU, PP dan lainnya); * Sosialisasi Rancangan Undang-Undang; * Publikasi Peraturan Perundang-undangan; * Pembinaan dan Pengembangan Tenaga Perancang. Tugas: Merumuskan dan melaksanakan kebijakan dan standarisasi teknis di bidang peraturan perundang-undangan. Fungsi: 1. Penyiapan perumusan kebijakan Departemen di bidang peraturan perundang-undangan; 2. Pelaksanaan kebijakan di bidang peraturan perundang-undangan sesuai dengan ketentuan yang berlaku; 3. perumusan standar, norma, pedoman, kriteria dan prosedur di bidang peraturan perundang-undangan; 4. pemberian bimbingan teknis dan evaluasi; 5. pelaksanaan urusan administrasi kepada semua unsur di lingkungan Direktorat Jenderal perancangan, pengharmonisasian, pemantauan dan evaluasi penyusunan dan pembentukan peraturan perundang- undangan ; 6. penerbitan dan publikasi rancangan, proses dan hasil rancangan peraturan perundang-undangan serta bahan pendukung rancangan peraturan perundang-undangan.

Pengundangan dan Penyebarluasan Peraturan Perundang-undangan

Proses akhir dari pembuatan peraturan perundang-undangan adalah pengundangan dan penyebarluasan yang memerlukan penanganan secara terarah, terpadu, terencana, efektif dan efesien serta akuntabel. Pengundangan adalah penempatan peraturan perundang-undangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, dan Tambahan Berita Negara Republik Indonesia. Maksudnya agar supaya setiap orang dapat mengetahui peraturan perundang-undangan, pemerintah wajib menyebarluaskan peraturan perundang-undangan yang telah diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia dan Berita Negara Republik Indonesia. Dengan penyebarluasan diharapkan masyarakat mengerti, dan memahami maksud-maksud yang terkandung dalam peraturan perundang-undangan, sehingga dapat melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan dimaksud. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2007 tentang Pengesahan, Pengundangan, dan Penyebarluasan Peraturan Perundang-undangan berwenang melakukan pengundangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, dan Tambahan Berita Negara Republik Indonesia. Pelaksanaan pengundangan peraturan perundang-undangan berdasarkan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor : M.01-HU.03.02 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pengundangan dan Penyebarluasan Peraturan Perundang-undangan dilaksanakan oleh Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan yang dalam tugas pokok dan fungsinya dilaksanakan oleh Direktorat Publikasi, Kerja Sama dan Pengundangan Peraturan Perundang-undangan yang membawahi Subdirektorat Pengundangan Peraturan Perundang-undangan. Pengundangan peraturan perundang-undangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia meliputi: 1. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; 2. Peraturan Pemerintah; 3. Peraturan Presiden mengenai: 1) pengesahan perjanjian antara negara Republik Indonesia dan negara lain atau badan internasional; dan 2) pernyataan keadaan bahaya. 4. Peraturan Perundang-undangan lain yang menurut Peraturan Perundang-undangan yang berlaku harus diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Dalam hal peraturan perundang-undangan yang ada penjelasannya, maka pengundangannya ditempatkan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia. Pengundangan Peraturan Perundang-undangan dalam Berita Negara Republik Indonesia meliputi peraturan yang dikeluarkan oleh: 1. Majelis Permusyawaratan Rakyat; 2. Dewan Perwakilan Rakyat; 3. Mahkamah Agung; 4. Mahkamah Konstitusi; dan 5. Menteri, Kepala Badan, lembaga atau komisi yang setingkat yang dibentuk oleh undang-undang atau pemerintah atas perintah undang-undang. Dalam hal peraturan perundang-undangan yang ada penjelasannya, maka pengundangannya ditempatkan dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia. Penerbitan Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, dan Tambahan Berita Negara Republik Indonesia dalam bentuk lembaran lepas dan himpunan. Tata Cara Pengundangan Peraturan Perundang-undangan 1. Naskah Peraturan Perundang-undangan yang akan diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, dan Tambahan Berita Negara Republik Indonesia wajib disampaikan kepada Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan disertai dengan 3 (tiga) naskah asli dan 1 (satu) softcopy. 2. Penyampaian dilakukan oleh pejabat yang berwenang dari instansi yang bersangkutan atau petugas yang ditunjuk disertai surat pengantar untuk diundangkan. 3. Pengundangan dilakukan dengan memberi nomor dan tahun pada Lembaran Negara Republik Indonesia dan Berita Negara Republik Indonesia, dan memberi nomor pada Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia dan Tambahan Berita Negara Republik Indonesia. Selanjutnya Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan mengajukan kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk ditandatangani. 4. Naskah peraturan perundang-undangan yang telah ditandatangani Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, selanjutnya disampaikan kepada instansi pemohon 2 (dua) naskah asli dan 1 (satu) untuk Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan sebagai arsip. 5. Penerbitan Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia dan Berita Negara Republik Indonesia, Tambahan Berita Negara Republik Indonesia dalam bentuk lembaran lepas dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal peraturan perundang-undangan diundangkan. 6. Penerbitan Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia dan Berita Negara Republik Indonesia, Tambahan Berita Negara Republik Indonesia dalam bentuk himpunan dilakukan pada akhir tahun. Penyebarluasan Peraturan Perundang-undangan 1. Penyebarluasan peraturan perundang-undangan dapat dilakukan melalui media cetak, media elektronik, dan cara lainnya. 2. Penyebarluasan peraturan perundang-undangan melalui media cetak berupa lembaran lepas maupun himpunan. 3. Penyebarluasan Lembaran Negara Republik Indonesia dalam bentuk lembaran lepas yang dilakukan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan untuk disampaikan kepada kementrian/Lembaga yang memprakarsai atau menetapkan peraturan perundang-undangan tersebut, dan masyarakat yang membutuhkan. 4. Penyebarluasan Lembaran Negara Republik Indonesia dalam bentuk himpunan yang dilakukan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan untuk disampaikan kepada Lembaga Negara, Kementerian/Lembaga Pemerintah Non Departemen, Pemerintah Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan pihak terkait. 5. Penyebarluasan melalui media elektronik dilakukan melalui situs web Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia dan dapat diakses melalui website: www.djpp.depkumham.go.id, atau lainnya. 6. Penyebarluasan dengan cara sosialisasi dapat dilakukan dengan tatap muka atau dialog langsung, berupa ceramah workshop/seminar, pertemuan ilmiah, konfrensi pers, dan cara lainnya

Nomor Induk Pegawai

Pemberian Nomor Induk Pegawai (NIP) * Nomor induk pegawai (NIP) diberikan kepada setiap Pegawai Negeri Sipil termasuk calon Pegawai Negeri Sipil. * Fungsi NIP adalah sebagai berikut: 1. Sebagai nomor identitas Pegawai Negeri Sipil. 2. Sebagai nomor pensiun 3. Sebagai nomor asuransi social Pegawai Negeri Sipil (atau nama lain yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan. 4. Sebagai dasar penyusunan dan pemeliharaan tata usaha kepegawaian yang teratur * NIP hanya berlaku selama yang bersangkutan menjadi Pegawai Negeri Sipil, atau dengan perkataan lain, NIP dengan sendirinya tidak berlaku lagi apabila yang bersangkutan sudah berhenti sebagai Pegawai Negeri Sipil, Kecuali untuk kepentingan pension dan ansuransi social Pegawai Negeri Sipil. * Apabila yang bersangkutan berhenti sebagai Pegawai Negeri Sipil, maka NIPnya tidak dapat digunakan untuk Pegawai Negeri Sipil lain. * Pegawai Negeri Sipil yang pindah antar instansi Pemerintah atau ditugaskan kepada instansi lain tetap menggunakan NIP yang telah ditetapkan baginya. * Pegawai Negeri Sipil yang diberhentikan sebagai Pegawai Negeri Sipil dengan hak pensiun, apabila kemudian diangkat kembali menjadi Pegawai Negeri Sipil, tetap menggunakan NIP yang telah ditetapkan baginya. * Pegawai Negeri Sipil yang diberhentikan sebagai Pegawai Negeri Sipil tanpa hak pensiun, apabila kemudian diangkat kembali menjadi Pegawai Negeri Sipil, tetap menggunakan NIP yang telah ditetapkan baginya Penetapan NIP * NIP ditetapkan secara terpusat oleh Kantor Badan Kepegawaian Negara, Baik bagi Pegawai Negeri Sipil Pusat maupun bagi Pegawai Negeri Sipil Daerah. * Pegawai Negeri Sipil yang telah mengisi Kardaf, ditetapkan NIP nya berdasarkan data kepegawaian yang terdapat dalam Kardaf. Penggunaan NIP * Dalam Surat-surat mutasi kepegawaian harus dicantumkan NIP, seperti dalam surat-surat keputusan pengangkatan calon/Pegawai Negeri Sipil, Kenaikan Pangkat, pengangkatan dalam atau pemberhentian dari jabatan, pemindahan, pemberhentian, pesiun, dan mutasi kepegawaian lainnya. * Arsip kepegawaian disusun secara sistematis menurut urutan NIP. * Dengan pencantuman NIP dalam segala surat-surat mutasi kepegawaian dan pelaksanaan penyusunan arsip kepegawaian menurut urutan NIP, maka akan memudahkan pemeliharaan arsip kepegawaian dan mudah ditemukan apabila diperlukan.

Jumat, 07 Oktober 2011

67 Ribu CPNS dari Honorer Sudah Dianggarkan

Masyarakat peminat bekerja sebagai PNS siap-siap tesenyum kecut. Pasalnya, tahun ini pemerintah memastikan tidak akan menggelar seleksi CPNS pusat maupun daerah. Termasuk untuk tenaga medis dan pendidik. Pemerintah bakal mengoptimalkan kerja tenaga honorer kategori I sejumlah 67 ribu yang bakal diangkat langsung CPNS bulan ini. Kepastian tidak ada penerimaan CPNS baru diseluruh sektor baik di pusat maupun daerah ini disampaikan oleh Kepala Bagian (Kabag) Humas Badan Kepegawaian Negara (BKN) Tumpak Hutabarat. Ditemui di kantor BKN di kawasan Cawang, Jakarta Timur, Tumpak menjelaskan tidak adanya rekrutmen CPNS baru tahun ini disebabkan karena moratorium. Lalu diperkuat lagi dengan adanya pengangkatan tenaga honorer kategori I sejumlah 67 ribu. Tumpak memaparkan, meski pemerintah menjalankan moratorium atau penghentian sementara perekrutan CPNS baru, masih ada pengecualian untuk tenaga medis seperti perawat, bidan dan dokter dan tenaga pendidikan atau guru. Selain itu juga ada pos khusus lainnya seperti sipir yang bebas dari gelombang moratorium. Pada pos-pos bidang kerja tersebut, pemerintah pusat maupun daerah masih diperbolehkan merekrut CPNS baru. Tapi, celah tersebut terbentur dengan rencana pengangkatan tenaga honorer kategori I yang dijadwalkan dijalankan bulan ini. Tepatnya setelah Peraturan Pemerintah (PP) tentang Pengangkatan Tenaga Honorer diteken Presiden SBY. “Kebutuhan CPNS tahun ini sementara ditambal pengangkatan honorer itu. Apalagi honorer yang diangkat berjumlah 67 ribu,” katanya. Dengan kabar ini, Tumpak mewanti-wanti masyarakat supaya tidak tertipu penjahat yang mengiming-imingi bisa memasukkan menjadi CPNS 2011. “Jelas sekali itu menipu. Tidak mungkin. Wong lowongannya tidak ada,” papar pejabat kelahiran Medan 20 Oktober 1959 itu. Dia berharap, masyarakat benar-benar paham betul jika tahun ini pemerintah tidak membuka lowongan CPNS baru. Termasuk untuk posisi tenaga medis maupun pendidik. Khusus untuk prekrutan CPNS baru di pos tenaga pendidik dan medis, Tumpak menjelaskan kemungkinan bisa dilakukan tahun depan. Itu pun untuk daerah-daerah tertentu. Syarat yang paling menonjol adalah, pemerintah daerah atau pusat yang boleh merekrut CPNS baru di pos ini hanya yang memiliki postur anggaran belanja pegawai kurang dari 50 %. Jika belanja pegawai masih di atas 50 % tidak diperbolehkan merekrut CPNS baru. “Meskipun daerah kekurangan. Solusinya harus benar-benar dilakukan penataan pegawai,” tandasnya. Jika ada pos-pos yang lowong, bisa diisi pegawai lain dengan latar belakang pendidikan yang sedikit bersinggungan. Misalnya, jika ada sarjana hukum yang menumpuk di Satuan Kerja Perangkat Dearah (SKPD) atau dinas, bisa dipindah ke SKPD lainnya. Meski harus bekerja pada urusan administrasi. “Tetap akan kami lakukan training dulu,” papar Tumpak. Begitu pula untuk tenaga medis dan pendidik, juga bakal dioptimalkan tenaga yang ada di kantor pusat SKPD. Nasib Tenaga Honorer Sementara itu, terkait progress penandatanganan PP Pengangkatan Tenaga Honorer, Tumpak masih belum mengetahui kepastian tanggalnya. Yang jelas, sesuai dengan skenario yang disusun penandatanganan ini dikebut bulan ini. Dia hanya mengatakan, gaji para tenaga honorer kategori I yang diangkat tiba-tiba menjadi CPNS itu sudah dianggarkan dalam APBN 2011. Meskipun begitu, Tumpak mengatakan para tenaga honorer yang bakal diangkat langsung menjadi CPNS ini tidak langsung menerima gaji dari pemerintah. Mereka baru menerima gaji setelah mendapatkan Surat Perintah Kerja dari pimpinannya. Jika surat ini keluar Januari 2012, maka pada saat itu mereka menerima gaji pertama. Tumpak mengingatkan, setelah nama-nama tenaga honorer kategori I diumumkan, mereka wajib melakukan pemberkasan untuk memperoleh Nomor Induk Pegawai (NIP). Untuk golongan kepangkatan, masih menggunakan acuan ijazah terakhir. Jika berijazah sarjana, maka langsung golongan III-a, D3 golongan II-c, dan SMA II-a. Untuk besaran gaji, selama masih berstatus CPNS menerima 80% dari gaji pokok. Setelah dinyatakan lulus prajab dan menjadi PNS, baru mendapatkan gaji utuh. Sedangkan untuk nasib 600 ribu tenaga honorer kategori II, bakal diangkat secara berangsung mulai 2012 hingga 2013. Tumpak menuturkan, wacana yang berkembang kuota yang tersedia untuk pengangkatan tenaga honorer kategori II ini hanya 30 % dari 600 ribu. “Kuota pastinya tunggu PP dulu,” tandasnya. Wacana lainnya, seleksi tenaga honorer kategori II ini dijalankan sesame tenaga honorer kategori II. Tumpak kemudian mengingatkan setelah urusan tenaga honorer kategori I dan II ini tuntas, pemerintah daerah dan pusat tidak lagi mengangkat tenaga honorer. Dia menjelaskan, pemerintah bakal menerbitkan peraturan tentang pegawai tidak tetap (PTT). Aturan ini diperkirakan bakal diteken presiden bersama dengan PP Pengangkatan Tenaga Honorer. Tumpak sedikit membocorkan isi dari RPP tentang PTT itu. Diantaranya, pegawai tidak tetap atau honorer diperbolehkan direkrut tetapi model kontrak. Durasi kontraknya bisa setahun. “Tapi pemerintah tidak ada kewajiban untuk mengangkatnya,” tandasnya. Jadi, tidak boleh protes kepada pemerintah karena tidak diangkat meski bekerja lama. BKN juga menyorot kualitas tenaga honorer. Tumpak menuturkan, kualitas tenaga honorer cukup buruk. Rata-rata, tenaga honorer ini direkrut dengan pertimbangan prihatin melihat saudaranya nganggur. “Biasanya hanya mengurusi foto kopi surat-surat, atau mobil dinias. Gajinya pun hanya cuku untuk beli uang rokok,” tutur Tumpak. Dia menegaskan, idealnya penambahan CPNS baru di negeri ini murni dari seleksi CPNS reguler. Tidak dari pengangkatan langsung tenaga honorer.

Kamis, 06 Oktober 2011

Gaji Rendah, Pemerintah Dinilai Lecehkan Guru Honorer

JAKARTA — Perhatian pemerintah terhadap kesejahteraan para guru yang berstatus honorer masih sangat rendah. Hal tersebut dibuktikan masih minimnya upah atau gaji yang dibayarkan pemerintah kepada para guru tersebut meskipun jam mengajar sudah sesuai layaknya guru PNS. Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB PGRI), Sulistiyo mengatakan, pihaknya menemukan banyak guru non-PNS yang bekerja penuh waktu dari Senin sampai dengan Sabtu. Namun ternyata, banyak yang memperoleh penghasilan hanya Rp 200 ribu per bulan. “Itu pelecehan profesi guru. Memang banyak guru yang sangat tulus mengabdi berapa pun honor yang diterima. Tetapi, itu tidak manusiawi dan sangat tidak layak, dibandingkan dengan kebutuhannya sebagai manusia, apalagi sudah berkeluarga dan harus menyekolahkan anaknya,” tegas Sulistiyo di Jakarta, Rabu (5/10). Berkaitan dengan kondisi tersebut, Sulistiyo mengungkapkan jika tindakan pemerintah tidak sesuai dengan UU yang berlaku. Yakni, Pasal 39 UU Guru dan Dosen yang menyatakan bahwa guru berhak memperoleh penghasilan yang wajar. Sejalan dengan itu, PGRI sudah mengusulkan kepada Pemerintah, agar segera menetapkan penghasilan minimal guru non-PNS yang dianggarakan melalui APBN dan ditusangkan dalam Peraturan pemerintah tentang pegawai Tidak tetap. “Kami sudah mengusulkan kepada pemerintah agar secepatnya ditetapkan penghasilan minimal guru yang berstatus non-PNS. Usul itu, sekaligus mengurangi keinginan semua orang menjadi pegawai negeri,”